Semenjak pulang dari perantauan saya selalu merasa ada yang kosong dalam hidup saya. Saya seolah tak menemukan kebermaknaan dalam menjalani kehidupan. Hanya menjalani hidup base on what most people do . Meskipun pada akhirnya mulai timbul berbagai pertanyaan yang belum ada jawabnya di otak. Seperti “ mau jadi apa kamu, mau kemana sih jalan hidupmu, mau kapan nikah, dsb”. Setiap pertanyaan muncul rutin satu per satu dalam setiap jamnya. Seolah setiap pertanyaan tersebut jawabnya “ aku ngga tau “.
Selang
beberapa waktu setelah merantau akhirnya saya berdiskusi dengan diri sendiri.
Singkat cerita salah satu keputusan yang saya ambil adalah kembali ke bangku
belajar di usia 22 tahun. Surely, itu
menurut saya telat meskipun saya ngga menyesali apa yang terjadi di tahun-tahun
sebelumnya. Bagi saya saat itu, ternyata waktu kita emang singkat dan ngga
mungkin mengerjakan semua hal besar dalam satu waktu. Semua hal besar harus
dikerjakan s-a-t-u p-e-r-s-a-t-u. Akhirnya saya ambil jurusan yang paling saya
suka atau saya rasa cocok dengan masalah yang saya hadapi. Psikologi . Not a regular class, kelas sore karena
saya sudah bekerja dan ngga mungkin saya minta orang tua lagi.
Saat itu yang
terpikir dibenak saya adalah “ sa, tak perduli sejauh apapun kamu salah
arah.kembalilah, putar baliklah kemudimu”. Bukan berarti yang
sebelum-sebelumnya salah, masa lalu bener-bener pelajaran yang bermanfaat untuk
saat ini. Saya hanya merasa selepas pulang dari perantauan, saya seperti
berjalan tanpa arah. Dan satu pernyataan pada akhirnya menuntun saya kembali ke
jalan saya. Pernyataan itu adalah “
Kalau kau tak mengenal dirimu, mana mungkin kau bisa mengenali Dia yang
menciptamu “. That was my “aha
moment”.
Dan setelah
itu satu persatu pertanyaan saya terjawab dan akhirnya rasa nyaman menjalani
kehidupan mulai terbentuk. Dan akhirnya saya nemuin salah satu artikel yang
menjelaskan tentang fenomena yang saya alami yakni Quarter life crisis. Jadi Quarter
life crisis(QLC) adalah
masa-masayang saya ceritakan di awal tadi, menurut The guardian yang saya kutip dari forbes, 85 % millennial ( kelahiran 1996-2000) mengalami hal serupa
di usia 20-30 tahun. Mereka mulai menanyakan tentang diri mereka, menanyakan
tentang “apa yang sebenarnya saya cari dalam kehidupan ini?”, mulai sering
kecewa pada diri sendiri dan sebagainya.
Sejatinya, QLC bukanlah sesuatu yang harus
ditakuti, melainkan sesuatu yang harus dipahami dan dipelajari. QLC ini berasa seperti alarm tanda bahwa
kamu sudah dewasa, setidaknya dewasa awal. Seperti saya yang bertemu dengan QLC saya dan setidaknya saya berjalan
menuju arah keluar dari QLC saya ini
dengan berbagai cara. Saya mengangap jalan terbaik untuk keluar dari fase ini
adalah mengenal diri. Saya mencoba berpikir deduktif-induktif. Dan dari segala
macam cara yang saya lakukan, saya menganggap pangkal dari cara-cara tersebut
adalah “ seberapa besar kamu mengenal dirimu”. Bagi saya hal itu akan membantu
kamu keluar dari QLC ini.
Karena setiap
orang pada dasarnya unik, dilahirkan lucu-lucu maka saya yakin pasti cara yang
bisa dipilih untuk keluar dari QLC ini
jelas beragam. Kamu bisa menemukan “ your
own therapy” kalau kamu berhasil mengenal dirimu sendiri.
Aku ngerasain hal ini dan aku udah umur 24th. Aku masih gatau cara utk mengenal diri sendiri itu bagaimana. Apakah ada saran untuk ku?
ReplyDelete