Didedikasikan bagi yang butuh perenungan tentang jatidiri, bagi yang tidak, saya sarankan untuk tak melanjutkan membaca :)
"kehilangan orang yang kita cintai adalah hal yang menyedihkan, tapi kehilangan jatidiri jauh lebih menyedihkan"
Tak banyak orang yang mau dengan sengaja memikirkan jatidirinya. Kebanyakan dari kita lebih suka dipaksa oleh usia.
Saat usia sudah kepala dua atau masa-masa akhir perkuliahan mulailah kita berfilsafat tentang diri kita. Tentang jatidiri kita, tentang tujuan hidup kita. Namun seperti yang saya katakan, "tak banyak".
5 tahun terakhir, ketika penggunaan kata "millenial" dan start up mulai sering mampir ditelinga kita. Beberapa dari kita sudah ogah mengenali jatidirinya. Hidup dibuat mengalir saja katanya. Atau hidup adalah perjuangan demi sebuah popularitas belaka.
Sengaja atau tidak, kita sejatinya mendamba dikenal banyak orang. Namun kita tak pernah secara gamblang mengungkapnnya. Kita lebih banyak bersembunyi dibalik kata "ingin berguna bagi banyak orang".
Bahkan malah terkesan kita memaksa agar berguna bagi banyak orang. Kita secara membabi buta memaksakan kehendak kita. Menganggap pendapat kita adalah kebenaran yang haqiqi.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca tulisan seorang cendekiawan. Kalau tak salah judulnya the fallacy of strawhat man, intinya beliau menjelaskan bahwa kita sering menciptakan sesosok makhluk atau keadaan yang akan kita salahkan. Kita menganggap makhluk tersebut nyata padahal di dunia tak pernah ada.
Kita akan menggunakan sosok tersebut untuk pemuasan nafsu kita belaka. Hasrat untuk didengar, diperhatikan, dihargai, dianggap benar dan sebagainnya.
Pun bagi kita yang tak mengenal atau kehilangan jatidiri kita akan dengan mudah menciptakan bayangan-bayangan tersebut. Kita dengan mudah menganggap orang lain pantas mendapatkan bantuan kita.
Mungkin sebaiknya mulai dari sekarang kita memikirkan pertanyaan yang membuat kita lebih mengenal diri kita :)
Comments
Post a Comment