Skip to main content

Nasehat Penuntut Ilmu

Dulu ketika sedang di izinkan belajar di pondok pesantren even hanya beberapa bulan, saya tidur di alas seadannya yang mungkin tebalnya tak mencapai 5 cm. Konon para penuntut ilmu takut kehilangan berkah dari ilmu yang dia pelajari apabila mendapat kenikmatan semacam tidur di kasur yang empuk.
Kalau kita mau sedikit memahami,esensinya bukan di seberapa empuk kasur tersebut. Namun lebih ke seberapa besar kenikmatan itu membuat kita lalai,terbuai dengan segala nikmat lalu lupa pada sang pemberi. Bukankan contohnya sudah banyak? Tak perlulah kita jauh-jauh ataupun berlelah lelah membaca kisah-kisah Fir'aun, Qarun ataupun Haman. Tengoklah betapa lalainya diri kita dari kebiasaan membaca ataupun mempelajari Al Qur'an.
Pertanyaanya, haruskah semua kenikmatan di cabut terlebih dahulu seperti kisah Si Malik dari cerita kunfayakun yang sering diceritakan oleh Ustadz Yusuf Mansur. Tanya ke hati kita, bukankah kita semua adalah para penuntut ilmu. Bukankah menuntut ilmu hukumnya Fardhu alias wajib bagi setiap Muslim. Bukan kasur yang membuat kita lalai , ketidaksadaran kitalah yang membuat kita lalai dari mensyukuri setiap nikmat. Maka dari itu ada ayat yang isinya kurang lebih seperti ini terjemahnya "fa'lam annahu la illaha ilallah " terjemah bebasnya " ilmuilah bahwasanya tak ada yang dituju,diharap,ditunggu melainkan Allah ".

Comments

Popular posts from this blog

Berbuat Baik, Sebaik Mungkin

Opini kali ini, judulnya tentang berbuat baik; sebaik mungkin. Tadi malem, saya ngaji di salah satu majlis. Kata ustadznya, ada maqalah yang bilang kek gini. " Kalau kamu muliakan orang alim, sejatinya kamu sedang memuliakan dirimu sendiri".  Kemarin, saya juga ngelakuin suatu hal yang udah maksimal tapi cuma dapet apresiasi minimal dari atasan. Seringkali dalam kehidupan hal tersebut terjadi. Kita ngebelain ngelembur, kerjain mati-matian, serius melakukan yang terbaik, tapi dapet apresiasi yang minim dari orang lain. Manusiawi sih. Sangatlah wajar kalau kita udah ngelakuin suatu pekerjaan dengan maksimal dan kita juga ngarep apresiasi yang setimpal dari orang lain. Ngarep itu kan udah jadi rutinitas keseharian buat kita, kenapa? Karna kita niatnya dari awal keliru.  Saya kadang ngrengeng-ngrengeng atau membayangkan beberapa hal yang saya lakukan dulu. Dulu waktu kerja di pabrik, saya sebagai anak yang baru lulus, shock betul waktu itu. Dapet kerjaan yang modalnya

Ustadz Hanan Attaki "Walisongo Zaman Now"

Oleh : Arsa Pagi ini saya sedikit terinspirasi dan termotivasi oleh beberapa video yang digarap oleh Ustadz Hanan Attaki dengan gerakan "shift" bentukannya. Secara pribadi jujur saya menyukai apa yang dilakukan oleh Ustad dan kolegannya. Bak seorang juru taktik sepakbola, beliau sangat visioner dan paham cara merebut atau mengajak hati kawula muda untuk berhijrah. Kemasan dakwah dengan tema-tema sosial kekinian serta memanfaatkan banyak teknologi zaman sekarang membuat kajian yang dipimpinya beda dengan yang lainnya. *Ustadz Hanan Attaki Ustad Hanan Attaki ini seperti penjelmaan dari walisongo jaman dulu . Dahulu Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang memanfaatkan media gamelan dan wayang untuk berdakwah, mengajak serta membumi islamkan nusantara. Dakwah yang terbukti moncer ini berhasil membuat nama mereka dikenang hingga sekarang dan bahkan makam-makamnya masih saja memberikan keberkahan kepada warga sekitar karena sering dikunjungi oleh penziarah dari luar daerah. 

Sebuah Pengalaman

Taukah kalian bahwa untuk menciptakan sebuah lukisan yang sempurna, enak dilihat dan sesuai harapan kalian. Maka yang harus kalian miliki adalah puluhan ataupun ratusan alat dan bahan. Kalian membutuhkan banyak sekali jenis warna yang sesuai dengan apa yang kalian harapkan, kuas dengan berbagai ukuran untuk membuat detil-detil yang meyakinkan, canvas yang masih putih untuk menuangkan berjuta ide kalian dan sedikit passion untuk melukis. Begitupun hidup. Tabula rasa. Sebuah teori mengenai bagaimana manusia berkembang sebagai seorang individu. Seorang psikolog bernama john locke mengatakan bahwa manusia lahir ke bumi tanpa membawa pengalaman mental apapun. Mereka selayaknya kertas kosong. Sejalan dengan pendapat dikalangan umat muslim bahwa bayi lahir dengan fitrahnya yang suci. Pengalaman lingkungan serta didikan orang tua lah yang membentuknya menjadi seorang individu. Dan itulah jawaban mengapa manusia begitu beragam. Kembali ke lukisan. Analogi lukisan tersebut serupa dengan kehidupa