Alkisah ada seorang syekh, beliau bernama Nassaj al Bukhari. Sang syekh adalah seorang ahli agama yang agung. Meskipun sang syekh ini buta aksara, banyak sekali orang yang ingin mendengar tafsir Al Quran dan hadis-hadis Nabi SAW dari lisannya. Beliau mampu menjelaskan keadaan Rasulullah saat menyampaikan hadist tersebut dengan detil.
Suatu hari seorang Alawi (keturunan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib) memuji seorang hakim di depan sang syekh. Sang alawi mengungkapkan bahwasanya di dunia ini tak ada hakim yang seperti hakim tersebut, hakim itu tak pernah mau menerima suap sepeserpun. Hakim tersebut adil dan tak pernah mementingkan suatu golongan. Semua benar-benar dilakukan karena Allah.
Sang syekh menimpali perkataan sang Alawi tersebut. " kau seorang Alawi, keturunan al Musthafa Rasulullah SAW. Kau memuji dan menyanjung hakim tersebut dengan berkata bahwa dia adil dan tak menerima suap. Padahal perkataanmu adalah suap baginya. Apalagi suap yang lebih baik dari pujian seorang Alawi kepadanya?"
Suap atau apapun sejenisnya tak pernah melulu berbentuk barang atau nominal tertentu. Terkadang kita tertipu dengan suap berupa pujian yang membuat niat kita berubah dalam melakukan suatu perkara. Yang tadinya kita melakukan karena Allah, lantas karena "suap" tersebut niat kita bergeser. Meski mungkin sedikit saja, jelas nilanya berubah dihadapan Allah.
Comments
Post a Comment