Dalam dunia sepakbola, kemampuan memahmi taktik yang diperagakan lawan agaknya sangatlah penting demi menciptakan peluang untuk memenangkan pertandingan. Sang juru taktik dituntut pandai-pandai meramu strategi yang bisa menjadi antidote taktik lawan. Selain juru taktik, kemampuan individu pemainpun menjadi penting ketika sudah berada di lapangan. Kreativitas serta kecerdasan pemain sangat diperlukan untuk menerapkan dengan baik strategi dari pelatih.
Dakwah masa kini, yang agaknya seperti mengalami revolusi adalah bagian dari grand tactical salah satu golongan. Yang jelas bukan golongan kami. Adu domba dan saling mencaci adalah masalah taktik. Tapi kemampuan menyakiti hati hingga menjebloskan seseorang ke dalam bui adalah kecerdasan sang pemain. Beberapa aksi adalah taktik. Hasil atau reaksi dari pemahaman kelengahan lawan yang baik. Sedikit kelengahan saja baik kelengahan yang by design atau human error bisa sangat berharga di mata juru taktik. Dan permainan taktik sepertinya sudah merambah dunia dakwah.
Kalau zaman dahulu, taktikal adalah masalah di medan tempur. Dimana senjata laras panjang atau tank-tank dijadikan alat menggempur. Sekarang medan perang dialihkan, dari dunia nyata ke ranah kognisi. Orang semakin cerdas, paham bahwa kemampuan kognisi tak terbatas, mampu membuat orang melakukan segala hal melampaui batas kegilaan. Fanatisme, radikalisme, materialisme, hedonisme dan isme-isme yang lain adalah produk kognisi yang secara cermat diramu oleh sang juru taktik. Apakah juru taktik hanya satu orang? Juru taktik, selalu dalam jumlah yang sedikit. Meski bukan berarti hanya terdiri dari seorang pemikir saja. Tapi, decision maker selalu seorang saja.
Mari kita kembali ke ranah dakwah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini di dunia islam indonesia, tak lepas dari pengaruh kecermatan strategi. Khusunya strategi dakwah di ranah dunia digital, Mungkin banyak survei yang membuktikan bahwa manusia indonesia paling tidak menggunakan smartphone mereka minimal 2-5 jam dalam sehari. Dan sebagian besar digunakan di media sosial. Momentum ini dipahami dengan baik oleh beberapa juru taktik. Diadakanlah beberapa pertemuan, mengganti beberapa narasi kuno dengan narasi kekinian, mengganti jubah perang dengan pakaian yang lebih bisa diterima oleh kognisi perkotaan. Karena pada dasarnya mau tak mau, kiblat orang desa adalah ke kota. Setiap yang keren di kota akan menjalar ke desa-desa. Meskipun tidak semua, walau di ranah media sosial atau gadget, saya harus berkata "iya" dengan tegas bahwa orang desa terbawa arus orang kota, bahkan lebih militan dan gila.
Tengok saja lokasi atau tempat tinggal para buzzer-buzzer medsos. Bisa saya pastikan, sedikit dari mereka yg lahir di antara gedung-gedung pencakar langit.
Dakwah seperti halnya produk lain sekarang ini. Harus dikemas dengan baik dan tidak kudet. Kemampuan marketing menjadi sangat pilar hari ini. Ketidakmampuan menyebarkan dakwah yang menyejukan akan menjadi petaka di kemudian hari. Narasi-narasi telah dikuasai oleh golongan yang mengatakan diri mereka paling islami. Meski narasi mereka kosong tanpa isi dan hanya memanjakan panca inderawi, walau tak bisa dipungkiri ada beberapa yang berhasil menyenggol hati. Semisal ustadz.... (isi sendiri)
Kegagalan memahami taktik lawan adalah awal dari kehancuran dalam permainan sepakbola. Tapi ini kan dunia dakwah? Tak bisa disamakan dengan permainan.
Bukankah hidup ini permainan?
Comments
Post a Comment