Saya pun masuk ke rumahnya. Bersua dengan gadis dewasa yang tampak lusuh sehabis memasak. Sederhana. Itu kesan saya ketika melihat parasnya. Ia mengenakan jilbab dan celana jeans terusan ke baju. Entah apa sebutannya. Pakaian wanita memang selalu rumit. Saya duduk dan menyerahkan buku itu, sebuah novel karangan seorang “ning” dari pondok pesantren daerah Magelang.
Ia masuk kedalam mempersiapkan sesuatu, meminta saya untuk menunggu sejenak. Sembari menunggu mata saya menjelajah isi ruang tamu rumahnya. Tak banyak yang bisa dilihat, hanya beberapa lukisan kota Mekkah dan sisanya dinding warna orange.
Ia keluar dengan segelas minuman berwarna merah. Bukan sirup. Minuman hangat, saya ingat waktu itu masa pagebluk. Daerah tempat tinggal kami sedang dihantui pagebluk yang belum usai. Kata dia minuman itu jamu. Dia suka membuatnya, konon ibunya yang mengajarkan ke dia. Warna merah itu hasil dari kayu manis yang direbus bersama air dan juga remoah lainnya. Ia menyajikan minuman itu tidak panas sehingga saya tak kesulitan untuk segera meminumnya.
Sembari meminum, ia bercerita tentang kisah kasihnya dengan oria yang tak direstui oleh kedua orang tuanya. Panjang lebar dia bercerita, sampai habis minuman yang disediakan untuk saya. Di akhir cerita dia tersenyum ke saya dan berkata bahwasanya kita tidak pernah tau apa yang benar dalam hidup ini. Apa yang orang tuanya lakukan ke dia atau apa yang dia lakukan terhadap orang tuannya.
Sejenak, saya merenungi ucapannya. Tersenyum, dan memutuskan untuk pamit karena saya harus shalat maghrib.
Comments
Post a Comment